Penyakit Masalah Sosial Masyarakat Dalam Peraturan Daerah
PERATURAN
DAERAH DAN KAITANNYA
DENGAN
PENYAKIT SOSIAL DI MASYARAKAT
BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hukum
adalah sebuah ketentuan sosial yang mengatur perilaku mutual antar manusia,
yaitu sebuah ketentuan tentang serangkaian peraturan yang mengatur perilaku
tertentu manusia dan hal ini berarti sebuah sistem norma[1]. Teori hukum menurut Hans Kelsen tersebut
menunjukkan apresiasi yang tinggi terhadap eksistensi dari kehidupan sosial
yang tentu tidak bisa dilepaskan dari norma-norma dan kaidah yang ada.
Manusia sebagai bagian dari kehidupan
masyarakat tentu akan bersinergi dengan dinamika sosial yang terjadi. Tidak
jarang bahwa dalam proses interaksi sosial tersebut pada akhirnya dapat
menimbulkan friksi-friksi tertentu yang dapat mengakibatkan munculnya
pelbagai penyakit sosial. Penyakit sosial pada prinsipnya merupakan suatu
kondisi tingkah laku individu dan masyarakat yang telah bergeser pada
norma-norma atau kaidah yang ada. Pada umumnya perilaku kontradiktif tersebut
hanya dilakukan oleh segolongan minoritas masyarakat namun akibat dari penyakit
sosial tersebut dapat menimbulkan dampak yang luas bagi masyarakat lainnya.
Keterkaitan masalah (interdepence) yang
terjadi tentu tidak sepenuhnya membuat sekelompok masyarakat mayoritas
menjadi kacau (chaos). Dinamika yang terjadi pada masyarakat pada
prinsipnya telah membuat masyarakat itu sendiri dapat mengantisipasi keadaan
baik dengan meletakkan dasar-dasar kearifan lokal, mengkaitkan norma agama atau
bahkan menegakkan norma hukum. Oleh sebab itulah maka norma-norma dan kaidah
yang ada selalu bisa mengikuti perkembangan zaman dalam mengatur tingkah laku
di masyarakat.
Berdasarkan hukum positif di Indonesia, pengaturan
mengenai yuridiksi penegakan hukum mengenai pengaturan masalah sosial selain
diselenggarakan oleh pemerintah pusat juga diselenggarakan secara otonom
pengaturannya kepada pemerintah daerah. Peraturan daerah adalah salah satu
bentuk kewenangan yang dimiliki oleh pemerintah daerah untuk mengatur
ketentuan-ketentuan tertentu di daerah dapat memuat sanksi-sanksi sebagaimana
layaknya undang-undang namun sanksi tersebut bersifat limitatif. Beberapa
pengaturan daerah tersebut berwenang untuk membuat peraturan daerah untuk
mengatasi persoalan sosial di daerah masing-masing. Namun apakah, secara
yuridiksi baik kompetensi dan urgensi peraturan daerah dapat mengatur secara
penuh permasalahan penyakit sosial masih menjadi suatu kontradiksi. Untuk
itulah Penulis mencoba mengkaji masalah dalam suatu makalah yang berjudul “Yuridiksi
Peraturan Daerah Dalam Kaitannya Dengan Penyakit Sosial”.
B. Rumusan
Masalah
Pokok
permasalahan dalam Makalah yang berjudul “Yuridiksi Peraturan Daerah Dalam
Kaitannya Dengan Penyakit Sosial” adalah :
1. Bagaimana
yuridiksi peraturan daerah apabila dikaitkan dengan penyakit sosial ?
2. Faktor-faktor
apa saja yang menjadi indikator ketidakefektifan peraturan daerah apabila
dikaitkan dengan penyakit sosial ?
C. Tujuan
Penulisan
Pada
dasarnya, tujuan dari pembuatan makalah yang berjudul “Yuridiksi Peraturan
Daerah Dalam Kaitannya Dengan Penyakit Sosial” bertujuan untuk :
1. Melaksanakan
salah satu tugas yang diberikan kepada Perancang Peraturan; dan
2. Bahan tersier
untuk mengetahui indikator Peraturan Daerah Dalam Kaitannya Dengan Penyakit
Sosial
D. Metedologi
Penelitian
Pada dasarnya makalah yang berjudul
“Yuridiksi Peraturan Daerah Dalam Kaitannya Dengan Penyakit Sosial” menggunakan
metodologi penelitian Deskriptif Kualitatif, yaitu memadukan Data Primer
(Peraturan Perundang-Undangan), Data Sekunder (Literatur Hukum) dan Data
Tersier (media internet) sehingga dapat dihasilkan bahan analistis komparasi
yang deskriptif.
E. Manfaat
Penelitian
Penulisan
makalah yang berjudul “Yuridiksi Peraturan Daerah Dalam Kaitannya Dengan
Penyakit Sosial” diharapkan dapat memberikan manfaat bagi :
1. Penulis sebagai
bahan pembelajaran dalam meningkatkan pemahaman dan kapasitas Penulis
dalam lingkup mengetahui yuridiksi berbasis kompetensi dan urgensi suatu
peraturan daerah dalam kaitannya dengan penyakit sosial; dan
2. Khalayak
luas terutama di Kantor Wilayah kementerian Hukum dan HAM Bengkulu.
BAB
II
PENYAKIT
SOSIAL
Dekadensi moral yang terjadi di Indonesia
pada dasarnya merupakan suatu respon imparsial dari masyarakat yang kurang
merasakan pemerataan hasil pembangunan. Tentu saja ekspektasi tersebut secara
apriori lahir akibat ketidakberdayaan pemerintah dalam mewujudkan apa yang
menjadi salah satu tujuan negara sebagaimana termuat dalam preambule Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUDNRI Tahun 1945) yaitu mewujudkan
masyarakat yang adil dan makmur. Pluralisme permasalahan yang terjadi dapat menimbulkan
beberapa dampak negatif yang dapat merugikan masyarakat, baik materiil, fisik
maupun psikologis.
Salah satu bentuk konkrit dari ketidak
merataannya pembangunan di tengah masyarakat adalah timbulnya beragam penyakit
sosial atau penyimpangan sosial (deviasi sosial). Salah satu sumber
mendefinisikan penyakit sosial (deviasi sosial) sebagai suatu bentuk prilaku
(perbuatan) yang tidak sesuai dengan kaidah dan norma yang hidup tumbuh
berkembang di lingkungan masyarakat. Berdasarkan pengertian tersebut, secara
implisit dapat kita artikan bahwa segala sesuatu yang bertentangan dengan norma
yang selama ini menjadi kearifan lokal dan diakui sebagai pengendali tingkah
laku manusia adalah suatu gejala sosial yang dapat menimbulkan berbagai jenis
penyakit masyarakat. Adapun beberapa norma yang diakui sebagai (control of
posture) pengendali tingkah laku di tengah masyarakat apabila dilihat dari
sanksinya terbagi menjadi sebagai berikut :
1.
Tata Cara (usage);
Suatu
bentuk perbuatan yang apabila tidak dilaksanakan hanya akan dikenakan sanksi
yang ringan, seperti menggunakan sendok dengan tangan kiri.
2.
Kebiasaan (folkways);
Cara
bertindak yang digemari oleh masyarakat sehingga dilakukan secara
berulang-ulang, seperti mengucapkan salam ketika bertemu dengan sekelompok atau
individu lain.
3.
Tata Kelakuan (Mores);
Norma yang bersumber dari
ajaran filsafat, doktrin, agama atau ideologi yang dianut oleh segolongan
masyarakat.
4.
Adat (Custom); dan
Norma
yang menjadi landasan dan tata cara hidup yang berasal dan diperuntukkan bagi
masyarakat dan mengikat kuat dalam diri masyarakat tersebut. Tidak jarang dalam
norma adat, pelanggarnya dikenakan hukuman yang keras.
5. Hukum (laws).
Norma yang
bersifat
Selain norma tersebut, klasifikasi norma
berdasarkan sumber atau asal usulnya bisa dibagi kedalam beberapa sub kelompok
yaitu adalah norma kesopanan, norma kesusilaan, norma agama dan norma hukum[1].
Berbagai penyakit sosial sangat dirasakan dapat membawa destabilisasi keamanan dan ketertiban masyarakat bahkan dalam banyak kasus dapat berujung pada pelanggaran hukum. Harus diakui, menurut Soejono Soekanto[2], pada prinsipnya penyakit sosial timbul akibat terjadinya persinggungan dengan norma-norma yang hidup di tengah masyarakat. Penyakit sosial tersebut dilatar belakangi oleh faktor-faktor berikut :
1. Faktor
Ekonomi;
Kemiskinan,
Pengangguran, dan lain-lain.
2. Faktor
Budaya;
Perceraian,
Kenakalan Remaja, dan lain-lain.
3. Faktor
Psikologis; dan
Penyakit
Menular, Keracunan Makanan, dan lain-lain.
4. Faktor
Psikologis.
Penyakit
Syaraf, Aliran Sesat, dan lain-lain.
Dalam perkembangannya, penyakit sosial juga mengalami ameliorasi (bersegi luas) pemaknaan istilah. Dahulu, penyakit sosial identik dengan dengan segala sesuatu yang berhubungan dengan norma kesusilaan dan kesopanan yang bersifat konvensional seperti beberapa diantaranya perilaku minuman keras, bermain judi, narkoba, dan prostitusi. Namun, saat ini penyakit sosial tidak hanya terdiri dari perilaku sebagaimana yang telah disebutkan, bahkan lebih subyektif lagi, penyakit sosial bisa berupa kenakalan remaja, penyebaran HIV/AIDS, penyimpangan seksual(swinger/heteroseks/homoseks), bahkan budaya korupsi oleh beberapa kalangan sudah dianggap sebagai salah satu contoh bentuk penyakit sosial. Pergeseran pemahaman penyakit sosial tersebut diduga cenderung dapat dipengaruhi oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, akulterasi budaya, dan dinamika politik kebangsaan.
Persoalan
penyakit sosial juga erat kaitannya dengan permasalahan pelanggaran terhadap
Hak Asasi Manusia. Jika dikaji lebih subyektif, banyak bentuk penyakit sosial
yang melanggar hak asasi manusia yang merupakan hak dasar yang dimiliki oleh
manusia sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 26, Pasal 27, Pasal 28, Pasal
28 A- Pasal 28 J, Pasal 29, Pasal 31, Pasal 33 dan Pasal 34 UUD NRI Tahun 1945.
Secara lebih rinci persinggungan dengan Hak Asasi Manusia sebagai akibat dari
munculnya penyakit sosial juga terdapat pada substansi pasal per pasal
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Telah
cukup jelas bahwa pada hakikatnya penyakit sosial ternyata memiliki keterkaitan
yang erat dengan norma-norma yang ada di masyarakat. Penentangan terhadap
norma-norma sekaligus nilai-nilai yang hidup, tumbuh kembang di masyarakat
merupakan suatu bentuk awal dari timbulnya berbagai penyakit sosial. Semakin
variasinya jenis, akibat, dan dampak dari munculnya penyakit sosial maka akan
semakin kuat juga komitmen masyarakat untuk memperbaiki dan mempertegas
norma-norma dan hukum yang diakui pada masyarakat. Bahkan, tidak jarang untuk
mengantisipasi penyakit sosial tersebut, masyarakat membuat kaidah-kaidah
sendiri. Hal tersebut merupakan suatu bentuk konklusi keinginan masyarakat yang
tidak ingin lingkungannya terancam dengan adanya penyakit sosial.
BAB
III
PERATURAN
DAERAH
Sebagai
negara dengan bentuk kesatuan, Indonesia telah melakukan beberapa perubahan
yang cukup urgensial dalam penyelenggaraan bentuk dan sistem tata pemerintahan.
Salah satu bentuk tersebut adalah perubahan sistem pemerintahan yang sebelumnya
menganut sistem pemerintahan sentralisasi namun pada akhirnya menerapkan sistem
pemerintahan desentralisasi (transfer of authority), yaitu suatu
pelimpahan kewenangan (atributif) penyelenggaraan pemerintahan dari pemerintah
pusat kepada pemerintah daerah (daerah otonom). Berdasarkan hal tersebut,
pemerintahan daerah diberikan kewenangan untuk bertindak sebagai pembuat
kebijakan (policy making) dan pelaksana kebijakan (executing
making).
Pemerintah
daerah merupakan penyelenggaraan urusan pemerintahan di daerah yang menganut
asas otonom dan tugas pembantuan dengan pemberian prinsip ekonomi
seluas-luasnya dalam sistem dan konsep Negara Kesatuan Republik Indonesia
sebagaimana yang dimaksud oleh Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Unsur-unsur penyelenggaraan pemerintahan daerah terdiri dari
Gubernur, Bupati, atau Walikota, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan perangkat
daerah. Cukup menarik dan akan menjadi bahan kajian dalam penulisan
makalah ini adalah mengenai Peraturan Daerah (Perda) yang merupakan salah satu
produk hukum sekaligus produk politik yang dihasilkan pemerintahan daerah.
Berdasarkan Pasal 11
Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah bahwa Peraturan
Daerah yang selanjutnya disebut dengan Perda terdiri dari peraturan daerah
provinsi dan/atau peraturan daerah kota. Mekanisme disahkannya suatu Peraturan
Daerah adalah melalui penetapan kepala daerah setelah sebelumnya disetujui
bersama antara Kepala Pemerintahan Daerah dengan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
(DPRD) terkait. Sebagaimana sifat atributifnya, seperti Undang-Undang,
Peraturan Daerah juga diberikan kewenangan untuk memuat ancaman denda, pidana,
dan kurungan namun bersifat limitatif, terhadap denda paling banyak Rp.
50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) dan ancaman pidana tidak boleh
lebih dari 6 (enam) bulan penjara.
Pengaturan yuridis yang berkaitan dengan peraturan daerah mulai dari definisi, substansi atau materi hingga tahapan pengundangan dan penyebarluasan tertuang dalam peraturan-peraturan berikut, yaitu :
1. Pasal
18 ayar (6) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah;
3. Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan; dan
4. Peraturan
Presiden Republik Indonesia Nomor 01 Tahun 2007 tentang Pengesahan,
Pengundangan, dan Penyebarluasan Peraturan Perundang-Undangan.
Secara yuridis formal, eksistensi dari Peraturan Daerah disebutkan pada Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yaitu :
1. Undang-Undang
Dasar 1945;
2. Ketetapan
Majelis Pemusyawaratan Rakyat;
3. Undang-Undang
dan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
4. Peraturan
Pemerintah;
5. Peraturan
Presiden;
6. Peraturan
Daerah Provinsi; dan
7. Peraturan
Daerah Kabupaten/Kota.
Dalam
perkembangannya pasca diterbitkannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintah Daerah, peraturan daerah tidak hanya berupa pemerintah daerah
provinsi dan kabupaten kota, namun muncul peraturan daerah khusus yang
dinamakan Qanun, yaitu peraturan daerah baik provinsi maupun kabupaten atau
kota untuk mengatur penyelenggaraan pemerintahan di Provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam (NAD) sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006
tentang Pemerintah Aceh. Selain itu, peraturan daerah khusus juga dimiliki oleh
Provinsi Papua yang disebut sebagai Perdasus dan Perdasi yang khusus untuk
melaksanakan pasal-pasal tertentu pada Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001
tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua. Namun apapun bentuknya, pada
dasarnya baik Qanun, Perdasus dan Perdasi secara substansi tetap merupakan
suatu peraturan yang sama tingkatannya dengan peraturan daerah.
Sekalipun peraturan daerah merupakan peraturan yang
merupakan atribusi (pelimpahan wewenang) dari pemerintah pusat kepada
pemerintah daerah, peraturan daerah tetaplah suatu peraturan yang secara
hierarki terikat dengan asas pembentukan peraturan perundang-undangan seperti
peraturan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang
lebih tinggi (lex superior derogat legi inferiori) atau peraturan yang baru
meniadakan peraturan yang lama ( lex posterior derogat legi priori).
Sebagai bagian dari produk hukum dalam tataran negara konstitusi, Peraturan
Daerah tidak dapat dibuat melebihi kewenangannya (over authority). Peraturan
Daerah juga dapat dilakukan pengujian (judicial review) terhadap
peraturan diatasnya apabila ditemui dugaan pelanggaran konstitusional yang
merugikan pihak-pihak tertentu.
Peraturan daerah yang baik adalah peraturan daerah
yang dapat menjamin, melindungi, mengakomodir kebutuhan masyarakat, dan mampu
menjawab hambatan yang ditemui oleh masyarakat sekaligus mampu menunjang
jalannya penyelenggaraan pemerintah daerah baik secara ekonomis maupun politis.
Oleh karena itu, idealnya suatu peraturan daerah harus dapat menyesuaikan diri
dengan dinamika sosial sehingga suatu peraturan daerah dapat bertahan lama dan
dapat menjadi salah satu regulasi sentral yang akan benar-benar melekat dalam
setiap individu di masyarakat.
BAB
IV
PEMBAHASAN
A. Bagaimana yuridiksi peraturan
daerah apabila dikaitkan dengan penyakit sosial ?
Fenomena
maraknya peraturan daerah yang diterbitkan oleh setiap pemerintah daerah
provinsi dan pemerintah daerah kabupaten atau kota di Indonesia pasca
diberlakukannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah
ternyata cukup meyakinkan publik bahwa peraturan daerah punya tendensi yang
kuat untuk menjawab kebutuhan konkrit dan faktual masyarakat. Padahal
sebelumnya, segolongan masyarakat dan sebagian perangkat daerah nyaris frustasi
dengan penerapan sistem sentralisasi yang dalam prakteknya banyak menimbulkan
ketimpangan dan permasalahan sosial di daerah. Harus diakui bahwa peraturan
daerah di era kekinian secara implisit telah memberikan suatu imunitas khusus
bagi daerah untuk menjalankan pemerintahannya sendiri. Suatu “angin segar” bagi
kemajuan daerah.
Tentu saja, berbagai rencana pemerintah daerah untuk
menyelenggarakan sistem pemerintahan secara otonom menjadi terbuka lebar.
Pluralisme permasalahan di daerah menjadi cukup terakomodir dan teratasi dalam
suatu bingkai hukum yang bernama peraturan daerah. Berbagai peraturan daerah
pada akhirnya diterbitkan dalam karakteristik permasalahan yang beragam seperti
salah satunya adalah peraturan daerah yang berkaitan dengan penyakit sosial.
Secara ekstrintik, dapat dikatakan bahwa pemerintah daerah telah bergerak dalam
2 (dua) gerbong lalu lintas konstitusi yaitu melaksanakan undang-undang
sekaligus menegakkan peraturan daerah.
Pada umumnya, tidak sedikit pemerintah daerah yang
meregulasikan berbagai permasalahan penyakit sosial di masyarakat-nya dalam
bentuk peraturan daerah. Masalah ini menjadi menarik jika menilik bahwa
kemungkinan penyebab diangkatnya permasalahan penyakit sosial dalam banyak
peraturan daerah dikarenakan suatu kebutuhan mendesak suatu masyarakat lokal,
adanya karakteristik khusus suatu daerah, atau bahkan sebagai bentuk campur
tangan dan kepentingan politik kekuasaan. Terlebih lagi, apabila dikomparasikan
dengan kaidah-kaidah hukum yang secara substansi belum sepenuhnya diatur dalam
hukum positif, ternyata bisa diatur oleh peraturan daerah. Suatu nilai positif
terhadap eksistensi peraturan daerah.
Pada hakikatnya, suatu peraturan daerah merupakan
peraturan yang dibuat atas persetujuan bersama antara Kepala Daerah dengan
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang tentu lebih memahami kondisi riil
masyarakat dan daerahnya daripada pemerintah pusat. Pemahaman terhadap kondisi
riil tersebut tentu akan lebih efisien dan efektif hasilnya bagi masyarakat
dan pemerintah daerah apabila telah dilakukan pengkajian yang sistematis dan
ilmiah terhadap peta permasalahan sosial di masyarakat. Beberapa bentuk dan karakteristik
tema yang berbeda dari peraturan daerah adalah sebagai berikut :
1. Peraturan
Daerah Kabupaten Buleleng Nomor 7 Tahun 2009 tentang Penanggulangan Pelacuran ;
2. Peraturan
Daerah Kota Sambas Nomor 3 Tahun 2004 tentang Larangan Pelacuran dan
Pornografi;
3. Peraturan
Daerah Kota Medan Nomor 6 Tahun 2003 tentang Larangan Gelandangan dan Pengemisan
Serta Praktek Susila; dan
4. Peraturan
Daerah Kabupaten Sleman Nomor 8 Tahun 2007 tentang Pelarangan Pengedaran,
Penjualan dan Penggunaan Minuman Beralkohol.
Sepintas,
peraturan daerah yang mengangkat tema penyakit sosial merupakan suatu keharusan
dan kebutuhan hukum pemerintah daerah dan masyarakat lokal. Namun apakah
permasalahan penyakit sosial telah sesuai dengan yuridiksi peraturan daerah.
Tentu akan lebih matang dan komplementer apabila kita juga mencoba untuk
mengkaji dari sisi yang berseberangan.
Untuk
menentukan apakah suatu peraturan daerah memang dapat mengangkat tema yang
berkaitan dengan penyakit sosial tidak bisa dilakukan dengan membatasi
pemahaman substansi secara kausalitas. Pemahaman ini diperlukan karena penyakit
sosial merupakan abstraksi yang memiliki makna bias dalam pendefinisiannya.
Sebagaimana diketahui, bahwa ada banyak karakteristik penyakit sosial yang bisa
diakomodir dalam suatu peraturan daerah. Tentu saja, perlakuan terhadap suatu
karakteristik peraturan daerah semisal mengenai larangan meminum minuman
beralkohol di suatu daerah, tentu akan berbeda atau belum tentu diterima oleh
kondisi di daerah lain. Perbedaan perspektif suatu masyarakat di suatu daerah
tentu juga akan menjadi suatu diferensial tersendiri. Boleh saja suatu daerah
menganggap bahwa minuman beralkohol adalah suatu kebiasaan (eninformentable) yang
mengakar di lingkungan masyarakat di suatu daerah namun belum tentu kondisi
tersebut dapat diterima oleh kondisi masyarakat daerah lain. Pada prinsipnya,
kondisi tersebut terjadi dapat disebabkan tingkat kereligiusan suatu daerah
atau faktor lainnya.
Secara
apriori, penyakit sosial tentu tidak hanya berupa perbuatan meminum minuman
beralkohol namun juga ada jenis tindakan (handling) lain. Pembahasan
mengenai yuridiksi peraturan daerah atau bagaimana ruang lingkup otoritas suatu
peraturan daerah dalam kaitannya dengan penyakit sosial tidak dapat
diterjemahkan dengan cara sederhana seperti mengkaji beberapa jenis penyakit
sosial. Tentu penyakit sosial tidak hanya berupa larangan meminum minuman keras
akan tetapi ada perbuatan lain yang tentu berangkat berdasarkan latar belakang
dan fislosofi kedaerahan. Oleh sebab itu, untuk menghindari ketidakobjektifan
penilaian, maka mutlak diperlukan pengkajian substansi masalah secara
komperhensif.
Pelimpahan
wewenang untuk membuat dan melaksanakan kebijakan yang diberikan terhadap
peraturan daerah tidak lantas dapat membuat suatu peraturan daerah dapat
membuat dan melaksanakan kebijakan lokal secara luas. Jika hendak mengakomodasi
penyakit sosial, maka idealnya suatu peraturan daerah harus benar-benar dapat
menentukan apakah telah sesuai dengan kompetensi hukum yang ada. Beberapa
pengaturan dalam peraturan daerah in casu telah diatur oleh
peraturan yang lebih tinggi yaitu Undang-Undang. Beberapa penyakit sosial
seperti meminum minuman beralkohol, kenakalan remaja yang mengakibatkan bentrok
fisik, atau permasalahan pornografi, dan lainnya telah diatur oleh
Undang-Undang. Permasalahan tersebut bahkan secara yuridis formal pada dasarnya
merambah ranah pidana dan perdata. Pengaturan mengenai kenakalan remaja seperti
maraknya bentrok fisik sebetulnya telah diatur dalam hukum pidana khusus (ius
specialis) yaitu di dalam Undang-Undang Nomor 03 Tahun 1997 tentang
Pengadilan Anak dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan
Anak. Begitu juga dengan permasalahan pornografi di suatu daerah, sebetulnya
sudah diatur oleh Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi.
Pada
dasarnya, penyakit sosial merupakan penyakit bangsa yang tentu pengaturannya
tidak cukup hanya diakomodir oleh suatu peraturan daerah. Timbulnya penyakit
sosial di masyarakat adalah tanggung jawab pemerintah dalam segi luas sebagai
tiang penyelenggara negara. Persoalan seperti kebiasaan meminum minuman
beralkohol, kenakalan remaja, maraknya pornografi, bahkan budaya korupsi tentu
harus dipandang sebagai persoalan besar yang menjadi tanggung jawab negara dan
tidak cukup untuk diatur dalam peraturan daerah. Memang, dalam prakteknya
peraturan daerah banyak sekali yang mengangkat persoalan sosial konkrit yang
ada di masyarakat. Namun. kita harus menyadari bahwa tidak semua
peraturan daerah dapat berjalan dengan konsisten mengingat perbedaan
karakteristik di setiap daerah sehingga dikhawatirkan dapat menimbulkan
kontradiksi dalam setiap tahapan pengundangan hingga pemberlakuannya peraturan
daerah.
Berdasarkan
hal tersebut, peraturan daerah pada dasarnya dapat memberi pengaturan
tersendiri tentang penyakit sosial di daerah namun yuridiksi tersebut tidak
mutlak dimiliki. Terhadap penyakit sosial tertentu yang sudah ada pengaturannya
secara tegas dalam Undang-Undang maka suatu peraturan daerah tidak diperlukan
lagi. Peraturan daerah yang berkaitan dengan pelacuran, minuman keras, aliran
sesat, dan yang lain sebagainya tidak memiliki kompetensi absolut untuk
diakomodir dalam suatu peraturan daerah karena beberapa permasalahan yang
timbul dari adanya penyakit sosial merupakan tanggah jawab pemerintah secara
nasional. Peraturan daerah bukan produk hukum sebagai buah delegasi
Undang-Undang, akan tetapi merupakan kewenangan atributif dari pemerintah pusat
yang idealnya suatu pemerintah daerah dapat dengan cermat melihat peta
permasalahan penyakit sosial di masing-masing daerah. Tentu dalam teknis
pembuatan suatu peraturan daerah, pemerintah daerah juga harus memperhatikan
posisi tawar pemerintah terkait dengan pemasukan daerah.
B. Faktor-faktor apa saja yang
menjadi indikator ketidakefektifan peraturan daerah apabila dikaitkan dengan
penyakit sosial ?
Peraturan
daerah tidak secara umum dapat mengakomodir penyakit sosial yang yang terdapat
di berbagai daerah. Ada restriksi khusus yang memang tidak bisa diatur oleh
peraturan daerah karena merupakan masalah nasional. Sedianya pembuatan peraturan
daerah harus memperhatikan segi kemanfaatan, keberdayagunaan dan optimalisasi
sehingga suatu peraturan daerah dapat memberikan kontribusi pada pemerintah
daerah dan masyarakat.
Sekalipun
peraturan daerah cukup responsif untuk meminimalisir potensi penyakit
masyarakat yang ada di masyarakat namun tidak semua peraturan daerah dapat
mengangkat tema yang berkaitan dengan penyakit sosial. Hal tersebut disebabkan
oleh :
1. Proses akulturasi budaya
antara masing-masing daerah;
Seiring
dengan meningkatnya kemajuan ekonomi, ilmu pengetahuan dan teknologi dan budaya
serta maka akan menjadi kohern dengan kemajuan pembangunan suatu daerah.
Berdasarkan hal tersebut, tidak dapat dihindari lagi jika suatu daerah akan
terbuka dengan masyarakat lain dan menjadikan setiap daerah menjadi masyarakat
sosio heterogenik. Kurang efektif jika pemerintah daerah terkait memuat
kebijakan yang hanya menguntungkan salah satu golongan
masyarakat.
2. Secara substantif telah
diatur oleh peraturan yang lebih tinggi; dan
Peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi pada dasarnya memberikan pengaturan yang
general sehingga kemudian ditindaklanjuti secara lebih rinci oleh peraturan
yang ada dibawahnya. Namun, dalam kondisi tertentu, peraturan yang lebih tinggi
terkandung telah memberikan pengaturan tegas seperti pengaturan tentang
perbuatan pidana yang tertuang dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ataupun
Hukum Pidana Khusus (poenale sanctie) sehingga tidak perlu lagi
diatur oleh peraturan dibawahnya.
3. Sejumlah penyakit sosial
yang merupakan permasalahan hukum kebangsaan.
Tidak
bisa dipungkiri lagi apabila ada beberapa penyakit sosial secara general
merupakan persoalan yang harus di selesaikan secara komperhensif. Seperti salah
satunya adalah permasalahan pornografi. Sebagaimana bangsa yang beradab dan
menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusian, tentunya bangsa Indonesia perlu untuk
memfiltrasi tata nilai yang tidak sesuai dengan kepribadian bangsa. Oleh sebab
itu, untuk penyakit sosial tertentu maka terkadang pengaturan yuridis dalam
bentuk peraturan daerah akan tidak efektif dilaksanakan mengingat setiap daerah
bisa saja membuat suatu materi muatan peraturan daerah yang menyimpang.
Peraturan daerah yang berkaitan dengan penyakit sosial
merupakan salah satu permasalahan yang cukup sensitif. Bahkan, Peraturan Daerah
Kota Tangerang Nomor 07 Tahun 2005 tentang Pelarangan Pengedaran Minuman
Beralkohol dicabut oleh Kementerian Dalam Negeri dengan alasan bahwa peraturan
daerah tersebut bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi. Untuk
itu, sebelum membuat suatu peraturan idealnya harus benar-benar
mencermati aspek sosiologis, yuridis dan filosofis sehingga baik dari segi
teknik penyusunan, substansi maupun sistematika peraturan dapat diterima dengan
baik oleh masyarakat.
BAB
V
KESIMPULAN
DAN SARAN
A. KESIMPULAN
Berdasarkan
Bab IV tentang Pembahasan, dapat disimpulkan bahwa peraturan daerah yang
merupakan produk hukum daerah sebagai hasil persetujuan politis antara
Pemerintah Daerah dengan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah memiliki sifat
atributif untuk mengatur penyelenggaraan pemerintahan di daerah sesuai dengan
peraturan perundang-undangan. Kewenangan tersebut memberikan koridor kewenangan
yang cukup luas bagi pemerintah daerah untuk mengatur kehidupan dan segi
tingkah laku sesuai dengan karakteristik masyarakat lokal termasuk mengatasi
penyakit sosial. Namun, ternyata tidak semua penyakit sosial dapat diatur oleh
peraturan daerah. Hal tersebut diakibatkan beberapa faktor berikut, yaitu :
1. Proses
akulturasi budaya antara masing-masing daerah;
2. Secara
substantif telah diatur oleh peraturan yang lebih tinggi; dan
3. Sejumlah
penyakit sosial yang merupakan permasalahan hukum kebangsaan.
B. SARAN
Penulis mengharapkan agar makalah ini dapat menjadi
sumber pelengkap (fakultatief) para Perancang Peraturan Perudang-Undangan
agar dapat mencermati dengan lebih substansif terhadap muatan materi peraturan
daerah agar tidak menabrak aturan yang lebih tinggi dan merupakan permasalahan
sosial yang bersifat lokal sehingga dapat berdaya laku efektif di masyarakat.
DAFTAR
PUSTAKA
Soerjono Soekanto, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum,
Rajawali Press, Jakarta, 2006, hlm 24.
Lili Rasjidi, Dasar-Dasar Filsafat dan Teori
Hukum, Citra Aditya, Jakarta, 2007, hlm
98.
Wikipedia Bahasa Indonesia yang berjudul “Penyimpangan
Sosial” yang diunduh melalui websitehttp://id.wikipedia.org/wiki/Perilaku_menyimpang pada
tanggal 26 Mei 2012.
Artikel Internet yang berjudul “Pengertian dan Jenis
Norma” yang diunduh melalui websitewww.organsiasi.org pada
tanggal 22 Mei 2012.
Artikel Internet yang berjudul “Definisi, Penyebab dan
Macam-Macam Penyakit Sosial” yang diunduh melalui website www.c3i.sabda.org pada tanggal 22 Mei
2012.
Artikel Internet yang berjudul “Asas-Asas Otonomi
Daerah” yang diunduh melalui website www.elfi-indra.blogspot.com pada
tanggal 23 Mei 2012.
Makalah yang dibuat oleh Himawan Estu Bagijo, Staf
Pengajar Universitas Airlangga yang berjudul ‘Pembentukan Peraturan
Daerah” berformat Pdf yang diunduh melalui media internet pada tanggal 24 Mei
2012.
Peraturan Perundang-Undangan
Undang-Undang Dasar 1945.
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintah
Daerah
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-Undangan.
Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 01 Tahun
2007 tentang Pengesahan, Pengundangan, dan Penyebarluasan Peraturan
Perundang-Undangan.
Gambaran
Kasus Masalah Sosial
Perilaku
menyimpang ataupun penyimpangan sosial yang terjadi di dalam masyarakat dapat
menimbulkan beragam bentuk dari penyakit-penyakit sosial. Penyakit sosial
merupakan segala perilaku dari masyarakat yang mana tidak sesuai dengan norma
dan nilai-nilai sosial yang ada serta berpengaruh pada kehidupan masyarakat.
Ada beberapa faktor yang dapat menyebabkan munculnya penyakit sosial, antara
lain adalah:
·
Tidak adanya figur yang dapat dijadikan
sebagai teladan untuk bisa memahami serta menerapkan norma dan nilai yang
berlaku di dalam masyarakat. Sehingga apa yang dilakukannya akan terasa benar
dan dilakukan secara terus menerus dengan tidak memperdulikan apakah perbuatan
tersebut melanggar norma atau tidak.
·
Pengaruh dari lingkungan kehidupan sosial
yang memang tidak baik. Lingkungan yang mana sebagian besar masyarakatnya
memang sering melakukan tindakan penyimpangan, semisal perjudian, prostitusi,
mabuk-mabukan, dan lainnya. Sehingga dapat mempengaruhi kondisi dari masyarakat
yang tinggal di wilayah tersebut.
·
Proses sosialisasi yang terjadi negatif,
seseorang yang berdekatan ataupun bergaul dengan pelaku-pelaku penyimpangan
sosial seperti pemabuk, penjudi, preman, dan lainnya tentu saja lama kelamaan
akan menjadi sama seperti teman-teman sekelompoknya tersebut.
Macam-macam
Bentuk Penyakit Sosial di Kalangan Masyarakat
Adanya
ketidakadilan. Jika seseorang mendapatkan ketidakadilan di dalam lingkungannya
maka hal tersebut dapat memicu terjadinya protes, unjuk rasa, bahkan hal
lainnya yang menjurus ke dalam tindakan anarkis. Lalu apa saja
macam-macam penyakit sosial yang terjadi di dalam masyarakat? Berikut ini
penjelasannya.
1.
Miras (Minuman Keras)
Miras
atau minuman keras merupakan minuman yang mana terdapat kandungan alkohol di
dalamnya, bahkan kandungannya dapat mencapai lebih dari 5%. Ada tiga kategori
minuman keras didasarkan pada kadar alkohol, yaitu:
·
Minuman alkohol golongan A, dengan
kandungan alkohol sekitar 1-5%.
·
Minuman alkohol golongan B, dengan kandungan
alkohol sekitar 5-20%.
·
Minuman alkohol golongan C, dengan
kandungan alkohol 20-55%.
Keberadaan
minuman keras bukan tidak diperbolehkan di Indonesia, namun memang dibatasi
oleh Pemerintah. Sehingga orang-orang yang menyalahgunakan miras tentunya
dikenai sanksi. Yang dimaksudkan dengan penyalahgunaan disini adalah pemakaian
yang memang tidak sesuai dengan batas dari yang diperbolehkan. Sehingga jika
minuman keras hanya digunakan untuk maksud kesehatan dan dibawah dari
pengawasan dokter, hal itu diperbolehkan, sebagai berikut beberapa daerah yang
menggunakan minuman keras ini sebagai berikut:
·
Di beberapa daerah yang ada di Indonesia,
ada beberapa minuman tradisional atau jamu yang masuk ke dalam kategori minuman
keras.
·
Sebenarnya bila tidak digunakan
berlebihan, maka minuman tradisional yang masuk ke dalam minuman keras tersebut
tentu akan bermanfaat untuk tubuh. Namun jika dikonsumsi secara berlebihan,
tentunya diperuntukkan untuk mabuk-mabukan.
·
Pemabuk ini lah yang dianggap ke dalam
salah satu penyakit sosial yang terjadi di dalam masyarakat. Biasanya pemabuk
mulai kehilangan rasa malu, tindakannya tidak dapat terkontrol, hingga
melakukan hal-hal yang sudah melanggar aturan dari masyarakat.
Selain
itu, minuman keras juga sangat berbahaya ketika dikonsumsi disaat anda
mengemudi karena alkohol dapat merusak konsentrasi sehingga beresiko
kecelakaan. Penggunaan jangka panjang, orang-orang yang kecanduan minuman keras
ini bisa meninggal dikarenakan rusaknya lambung dan hati diakibatkan efek
samping dari alkohol.
2.
Penyalahgunaan Narkotika
Awalnya
narkotika digunakan sebagai keperluan medis, terutama untuk bahan campuran dari
obat-obatan ataupun penggunaan medis lainnya. Narkotika banyak ditemukan dalam
keperluan operasi medis dikarenakan efeknya yang memberikan nyaman serta dapat
menghilangkan rasa sakit untuk sementara waktu, sehingga pasien tidak akan
merasakan sakit sedikitpun saat melakukan operasi.
·
Namun tentu saja, penggunaannya ini
dilakukan oleh ataupun ahli yang memang mengetahui kadar yang sesuai dengan
kebutuhan manusia.
·
Hal ini dikarenakan pada dosis-dosis
tertentu akan memiliki efek ketergantungan bagi penggunanya. Penggunaan
narkotika yang sembarangan serta tidak memperhatikan dosis yang digunakan maka
akan memberikan dampak negatif bagi penggunanya.
·
Saat ini banyak sekali orang-orang yang
menyalahgunakan narkoba untuk kepentingan-kepentingan pribadi.
Pemakaiannya
pun dalam macam-macam penyakit sosial bisa dilakukan dengan berbagai cara,
mulai dari disuntikan, dihirup serbuk atau asap nya, ditelan dan lainnya.
Padahal narkotika memiliki efek adiktif yang mana membuat seseorang dapat
mengalami kecanduan. Jika seseorang sudah kecanduan narkoba, tentu saja
narkotika dapat merusak sistem syaraf yang ada di dalam tubuh hingga
menimbulkan kematian. Berikut ini beberapa zat-zat yang termasuk ke dalam
kategori narkotika:
Ø Heroin
Heroin
termasuk ke dalam narkotika yang cukup keras, hal ini dikarenakan kandungan
adiktif nya yang tinggi sehingga sangat membahayakan jika digunakan tanpa
aturan atau dosis yang jelas. Bentuknya sangat beragam di pasaran, mulai dari
tepung, cairan, hingga butiran. Zat ini memiliki kemampuan yang cukup cepat
dalam memperdaya penggunanya, baik fisik ataupun mental.
Sehingga
jika seseorang sudah kecanduan dengan zat ini, maka untuk upaya menghentikannya
akan menyebabkan rasa sakit yang disertai dengan kejang-kejang, muntah, kram
perut, mata berair, menurunnya nafsu makan, hingga dehidrasi.
Ø Ganja
Di
dalam kandungan ganja terdapat zat kimia yang mana memiliki pengaruh dalam hal
penglihatan, pendengaran, hingga perasaan. Dampak penyalahgunaan ganja yang
paling terlihat adalah denyut jantung yang meningkat, hilangnya konsentrasi,
depresi, panik, hingga dapat berhalusinasi. Biasanya penyalahgunaan ganja
dilakukan dengan cara dihisap, seperti tembakau yang ada di dalam rokok.
Ø Sabu-Sabu
Bentuknya
seperti kristal kecil, namun tidak berwarna dan tidak berbau. Zat ini bisa
memberikan dampak negatif yang cukup kuat bagi yang menggunakannya, terutama di
bagian sistem syaraf. Dampak dari penyalahgunaan narkoba jenis sabu-sabu
ini dapat berupa penurunan berat badan yang berlebihan, sariawan akut, impotensi,
kerusakan organ tubuh (ginjal, jantung, hati), stroke, halusinasi, hingga
berakhir kematian. Biasanya pencandu sabu-sabu mengonsumsi sabu-sabu dengan
alat (bong).
Ø Ekstasi
Ekstasi
merupakan jenis dari zat psikotropika yang berbentuk kapsul atau tablet serta
diproduksi ilegal. Orang yang mengonsumsi ekstasi akan merasa jika dirinya
lebih berenergi dibandingkan biasanya. Hal ini juga yang akhirnya menyebabkan
pengguna ekstasi akan berkeringat secara berlebihan juga. Sehingga menyebabkan
dirinya selalu merasa kehausan hingga dehidrasi. Dampak lainnya adalah diare,
hiperaktif, sakit kepala, detak jantung yang tidak teratur, menggigil, dan
berkurangnya nafsu makan.
Ø Amfetamin
Amfetamin
adalah jenis obat-obatan yang dapat memberikan dorongan dan rangsangan yang
kuat di dalam jaringan syaraf. Meskipun dengan mengonsumsi amfetamin dapat
membuat tubuh terasa bugar, namun juga terdapat efek bahaya yang tertinggal di
dalam tubuh. Mulai dari penurunan berat badan yang cukup drastis, tekanan darah
naik, gelisah, denyut jantung meningkat, mudah lelah, pingsan, hingga sering
melakukan tindakan yang kasar dan aneh.
Ø Inhalen
Inahlen
merupakan salah satu bentuk tindakan yang menyimpang, seperti menghirup cat,
lem, tiner, dan lainnya. Tindakan yang tidak lazim ini mulai bermunculan pada
remaja-remaja saat ini. Penyalahgunaan inhalen ini bisa menimbulkan kerusakan
pada beberapa bagian organ tubuh, gagal jantung, hingga mempengaruhi dari perkembangan
syaraf dan otot.
3.
Perilaku Seks Di Luar Nikah
Perilaku seks yang dilakukan di luar nikah juga
menjadi salah satu penyakit sosial, Tak hanya ditentang oleh norma sosial,
namun juga dalam ajaran agama. Perilaku ini biasanya dilakukan oleh pria dan
wanita yang belum atau tidak memiliki ikatan yang resmi. Sehingga dampak
negatif yang bisa terjadi adalah anak yang lahir di luar pernikahan, terjangkit
Penyakit Menular Seksual (PMS), HIV/AIDS, serta turunnya moral dari pelaku.
4.
Perkelahian Antar Pelajar
Penyakit sosial seperti ini sering kali terjadi di
kota-kota besar, bahkan tak hanya melibatkan satu atau dua orang siswa saja
namun hingga melibatkan kelompok besar. Bahkan banyak perkelahian pelajar yang
tidak hanya melibatkan tangan kosong saja, namun juga menggunakan senjata tajam
sehingga menyebabkan banyak korban hingga korban meninggal.
Dan yang lebih disayangkannya lagi, rata-rata korban
dari perkelahian antara pelajar tersebut adalah siswa-siswa yang tidak terlibat
di dalam perkelahian. Pada umumnya, mereka hanya sekedar sedang lewat ataupun
pengeroyokan yang salah sasaran. Kondisi seperti ini tentu saja jelas akan
memberikan pengaruh pada psikis dan trauma pada masyarakat, terutama di
kalangan pelajar. Sehingga membuat rasa was-was berlebih yang berakibat pada
kreativitas yang menjadi terhambat, Tentu saja ini membutuhkan perhatian dari
setiap kalangan yang ada untuk bisa menciptakan suasana yang nyaman untuk
masyarakat serta siswa-siswa sekolah.
Upaya
Pemerintah dalam Mengatasi Pengangguran
Seperti
yang telah dibahas pada pembahasan sebelumnya bahwa pengangguran adalah salah
satu masalah serius yang terjadi di masalah negara berkembang.
Pengangguran adalah suatu istilah yang diberikan kepada seseorang yang tidak
memiliki pekerjaan atau tidak bekerja. Pengangguran terjadi karena adanya
ketidakseimbangan antara tenaga kerja dengan lapangan pekerjaan, lapangan
pekerjaan yang tercipta cenderung sedikit sehingga menyebabkan banyak tenaga
kerja tidak mendapatkan pekerjaan. Produktivitas suatu negara sangat
dipengaruhi oleh pendapatan masyarakat, sehingga pengangguran seringkali
menjadi masalah yang sangat serius terhadap suatu negara. Karena jika dibiarkan
pengangguran akan menyebabkan banyak masalah yang timbul seperti kemiskinan,
dan masalah lainnya.
Pengangguran
merupakan salah satu masalah penting yang harus segera didapatkan solusinya
agar tingkat pengangguran dapat berkurang. Untuk mengurangi tingkat
pengangguran pemerintahpun harus ikut berupaya mengeluarkan berbagai kebijakan
ataupun program untuk dapat mengurangi tingkat pengangguran yang ada di
negaranya. Pengangguran jika terjadi secara berkepanjangan maka akan banyak
menimbulkan berbagai masalah. Berikut ini akan dibahas mengenai upaya
pemerintah dalam mengatasi masalah pengangguran beserta solusi dari pemerintah
untuk mengurangi tingkat pengangguran yang ada. Simak pembahasannya dibawah
ini:
Pengertian
Pengangguran
Pengangguran berasal dari
kata “menganggur” yang berarti sedang tidak melakukan apapun. Secara umum
pengangguran adalah istilah untuk seseorang yang tidak bekerja ataupun saat ini
sedang mencari pekerjaan. Istilah tingkat pengangguran sering kali kita dengar,
tingkat pengangguran adalah jumlah perbandingan antara jumlah angkatan kerja
dalam bentuk persentase. Seseorang dikatakan seorang pengangguran jika memiliki
salah satu ciri-ciri dibawah ini, adapun ciri-cirinya yaitu sebagai berikut.
·
Seseorang yang sedang tidak bekerja.
·
Seseorang yang sedang dalam keadaan
mempersiapkan usaha baru.
·
Seseorang yang tidak memiliki pekerjaan
karena orang tersebut merasa tidak akan mungkin untuk mendapatkan pekerjaan.
·
Seseorang yang baru mendapatkan pekerjaan
akan tetapi belum mulai bekerja.
Jika
salah satu dari empat ciri-ciri diatas terdapat pada diri seseorang, maka orang
tersebut termasuk seorang pengangguran. Pengangguran terbagi menjadi beberapa
macam. Dibawah ini akan dibahas secara singkat mengenai jenis-jenis pengangguran.
Jenis-jenis
Pengangguran Di Indonesia
Pengangguran terbagi
menjadi beberapa jenis. Pembagian pengangguran dapat dilihat berdasarkan jumlah
jam kerja, faktor penyebabnya, dan berdasarkan ciri-cirinya. Berikut ini akan
dibahas secara singkat saja mengenai jenis-jenis pengangguran:
1.
Jenis pengangguran berdasarkan jam kerja
Jenis
pengangguran berdasarkan jam kerja terbagi menjadi pengangguran jam terbuka,
pengangguran terselubung, dan setengah pengangguran. Pengangguran terbuka
adalah yaitu seorang yang menganggur akan tetapi sedang mencari pekerjaan.
Pengangguran terselubung adalah seseorang yang tidak bekerja dikarenakan ada
suatu alasan tertentu. Dan setengah pengangguran adalah pekerja yang bekerja
tidak dengan jam normal, adapun setengah pengangguran dibagi menjadi
pengangguran terpaksa, pengangguran sukarela, dan pengangguran bruto.
2.
Jenis pengangguran berdasarkan faktor penyebabnya
Berdasarkan
faktor penyebabnya jenis penganguran terbagi menjadi pengangguran friksional,
siklial, struktural dan teknologi. Pengangguran friksional adalah penganguran
yang terjadi ketika terdapat dua atau tiga persen jumlah tenaga kerja maka
perekonomian tersebut sudah dianggap mencapai kesempatan kerja penuh.
Pengangguran siklikal yaitu terjadi karena kesulitan yang temporer.
Pengangguran struktural yaitu pengangguran yang terjadi karena perubahan
struktur suatu perekonomian. Dan pengangguran teknologi yaitu pengangguran
karena mesin dan kemajuan teknologi.
3.
Jenis pengangguran berdasarkan ciri-cirinya
Dan
yang terakhir pembagian pengangguran berdasarkan ciri-cirinya. Pembagian
pengangguran berdasarkan ciri-cirinya dibagi menjadi pengangguran terbuka,
tersembunyi, musiman, dan juga pengangguran menganggur. Pengangguran terbuka
yaitu pengangguran yang terjadi karena lowongan pekerjaan yang tersedia lebih
rendah daripada jumlah tenaga kerja. Yang kedua yaitu pengangguran tersembunyi,
pengangguran tersembunyi yaitu pengangguran yang terjadi karena adanya
kelebihan jumlah tenaga kerja yang digunakan. Pengangguran musiman yaitu jenis
pengangguran yang terjadi karena adanya faktor iklim biasanya pengangguran
musiman terjadi pada sektor pertanian ataupun perikanan, karena perubahan musim
sangat mempengaruhi para nelayan ataupun petani dalam mengerjakan pekerjaannya.
Dan yang terakhir yaitu pengangguran menganggur, pengangguran yang hanya
bekerja selama satu sampai dua hari dalam seminggu.
Upaya
Pemerintah dalam Mengatasi Masalah Pengangguran
Pengangguran
merupakan masalah penting yang harus segera diatasi karena sangat berpengaruh
kepada perkembangan suatu negara. Pemerintah harus berperan dalam mengatasi
masalah pengangguran. Upaya Pemerintah dalam mengatasi pengangguran dapat
membantu mengatasi permasalahan pengangguran dengan mengeluarkan berbagai
kebijakan yang meminimalisir akan terjadinya pengangguran.
Karena
setiap warga negara berhak mempunyai pekerjaan dan memiliki kehidupan yang
layak seperti hal nya tercantum pada pasal 27 UUD 1945 yang berbunyi ” Tiap-tiap
warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak, maka pemerintah
wajib menyediakan lapangan kerja dan melindungi hak-hak tenaga kerja”. Oleh
karena itu pemerintah harus dapat memberikan berbagai solusi dan berupaya untuk
menurunkan atau mengatasi masalah pengangguran yang ada. Berikut ini beberapa
upaya yang dilakukan oleh pemerintah dalam mengatasi masalah pengangguran yaitu
sebagai berikut:
1.
Menciptakan lapangan pekerjaan seluas-luasnya
Terjadinya
masalah pengangguran disebabkan karena tidak seimbangnya perbandingan antara
lapangan pekerjaan dan tenaga kerja. Oleh karena itu salah satu upaya yang
dilakukan oleh pemerintah yaitu dengan menciptakan lapangan pekerjaan
seluas-luasnya. Menurut ahli ekonomi yaitu Prof. Soemitro Djoyohadikoesoemo
berpendapat bahwa memperluas kesempatan kerja dapat dilakukan dengan dua cara
yaitu yang pertama dengan cara mengembangkan industri padat karya dan yang
kedua dengan menyelenggarakan proyek pekerjaan umum. Cara yang pertama yaitu
dengan mengembangkan industri, pengembangan industri dapat dilakukan dengan
cara meningkatkan modal asing dan juga modal dalam negeri. Dan cara kedua yaitu
dengan menyelenggarakan proyek pekerjaan umum contohnya seperti proyek dalam
pembuatan jalan tol. Selain itu cara lain pemerintah untuk membuka
kesempatan kerja yaitu dengan mengirimkan tenaga kerja yang ada di Indonesia
untuk bekerja di luar negeri dengan melalui departemen tenaga kerja ataupun
melalui jasa tenaga kerja.
2.
Meningkatkan kualitas tenaga kerja
Salah
satu faktor kenapa tingkat pengangguran di Indonesia masih tinggi yaitu
keterampilan atau kinerja setiap tenaga kerja. Oleh karena itu sangat perlu
seorang pengangguran meningkatkan kualitas tenaga kerjanya agar tingkat
pengangguran berkurang. Adapun cara yang dapat dilakukan untuk meningkatkan
kualitas tenaga kerja yaitu dengan cara latihan untuk pengembangan profesionalisme
tenaga kerja, selain itu dengan mencoba latihan magang di tempat kerja, dan
cara yang sangat ampuh untuk meningkatkan kualitas tenaga kerja yaitu dengan
meningkatkan kualitas pendidikan masyarakat setempat dan juga menyesuaikan
bakat yang dimiliki masyarakat dengan usaha baik itu melalui pendidikan formal,
kursus, ataupun lain-lain.
3.
Mengadakan proyek magang bagi calon tenaga kerja
Salah
satu cara pemerintah untuk mengurangi pengangguran yaitu dengan mengadakan
suatu proyek magang bagi calon tenaga kerja. Dengan adanya pelatihan pada
magang maka calon tenaga kerja akan menjadi lebih terampil dan akan membantu
mengatasi masalah pengangguran. Selain itu dengan cara mengadakan berbagai
pelatihan sesuai dengan kebutuhan masing-masing para pencari kerja.
4.
Meningkatkan kesejahteraan tenaga kerja
Upaya
pemerintah yang keempat untuk mengatasi masalah pengangguran yaitu dengan
meningkatkan kesejahteraan tenaga kerja. Adapun cara yang dapat dilakukan untuk
meningkatkan kesejahteraan tenaga kerja yaitu dengan cara mengikuti semua
pekerja kepada asuransi jaminan sosial, menyarankan setiap perusahaan untuk
dapat meningkatkan keselamatan kerja, mewajibkan setiap perusahaan yang ada
untuk dapat memenuhi hak tenaga kerja, dan cara terakhir yaitu dengan
menetapkan adanya upah minimum regional.
5.
Pengembangan sektor informal
Upaya
Pemerintah dalam mengatasi pengangguran yaitu dengan mengembangkan usaha pada
sektor informal. Sektor informal biasanya banyak ditemukan di negara-negara
berkembang. Indonesia merupakan salah satu negara berkembang sehingga dengan
mengambangkan setor informal akan membantu dalam mengatasi masalah
pengangguran. Sektor informal sangat cocok digunakan untuk upaya pengangguran
sebab pada sektor informal untuk bekerja pada sektor informal tidak harus
memiliki pendidikan yang tinggi. Pertumbuhan penduduk yang begitu pesat membuat
beberapa perusahaan pada sektor formal mengalami kendala dalam menyediakan
kesempatan kerja. Akan tetapi ada beberapa negara berkembang yang
berpendapat bahwa sektor informal ini merupakan sebuah lambang dari
keterbelakangan suatu negara. Akan tetapi jika kita berpikir optimis maka
dengan adanya sektor ini sangat membantu dalam mengatasi pengangguran.
6.
Pengembangan program transmigrasi
Transmigrasi
adalah proses perpindahan suatu penduduk dari suatu tempat ke tempat yang lain.
Dengan adanya transmigrasi maka dapat mengurangi tingkat pengangguran, hal ini
disebabkan akan terjadi kemerataan jika dilakukan pengembangan program
transmigrasi. Dengan adanya program transmigrasi maka seluruh penjuru di
Indonesia dapat saling mendapatkan pekerjaan, maka para pencari kerja dapat
dengan mudahnya mendapatkan pekerjaan yang sesuai dengan keahlian kita.
7.
Meningkatkan investasi
Cara
yang terakhir yaitu dengan meningkatkan investasi. Apa hubungannya investasi dengan
pengangguran?. Investasi merupakan salah satu hal pokok yang sangat penting
dalam sebuah sistem perekonomian. Dengan adanya investasi yang meningkat, maka
bisnis yang ada suatu negara akan terus berkembang. Dengan berkembangnya suatu
bisnis maka akan dapat banyak menciptakan lapangan pekerjaan sehingga
pengangguranpun akan berkurang.
Sekian
pembahasan mengenai upaya pemerintah dalam mengatasi pengangguran. Kita sebagai
generasi muda harus lah berpikir kreatif dan inovatif agar dapat menjadi
seorang pengusaha yang nantinya akan dapat membuka banyak kesempatan kerja,
agar dapat mengurangi tingkat pengangguran yang ada di Indonesia.
Komentar
Posting Komentar